Jumat, 21 Oktober 2016

PERMASALAHAN DI LINGKUNGAN LAHAN BASAH

ARSITEKTUR VERNAKULAR LAHAN BASAH
PERMASALAHAN DI LINGKUNGAN LAHAN BASAH





KELOMPOK 8
NURGISDARANI BASRI (H1B115024)
NURMAYA MUTHIA (H1B115025)
YANA (H1B115030)
M. SUDARSONO (H1B115216)


PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2016





PERMASALAHAN DI LINGKUNGAN LAHAN BASAH

Kota Banjarmasin berada di bawah permukaan laut yang dipengaruhi oleh pasang naik dan pasang surut (pasut) air laut. Bentang alam kota yang relatif landai ini menyebabkan terbentuknya kawasan lahan rawa dan terdapat ratusan saluran air baik alami dan buatan berupa sungai dan terusan (kanal). Pada saat ini, pertumbuhan kota Banjarmasin bergeser dari berbasis sungai menjadi berbasis daratan, sehingga karakter lokal mulai lenyap dan tidak memperhatikan kondisi lahannya. Penelitian ini dilakukan dengan metode historis dan deskriptif dengan mendasarkan kajian terhadap perkembangan permukiman di Banjarmasin.Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan permukiman sebagian besar diurug, kecuali pada area bangunan yang masih menggunakan struktur panggung, sehingga mengurangi area resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka karakteristik lahan rawa di Banjarmasin akan hilang. Ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Kondisi lingkungan kota Banjarmasin yang berupa lahan rawa dan terdapat sungai-sungai harus menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam setiap perencanaan.Kata kunci : tapak permukiman, lahan rawa.

Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang berasal dari nilai-nilai kehidupan dan budaya yang ada di tempat tertentu. Oleh karena itu, arsitektur vernakular diyakini memiliki dan menyimpan berbagai pengetahuan lokal yang telah diuji dalam mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan lingkungan alam. Jika hari ini, berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam lingkungan binaan yang ditemukan yang harus dibangun untuk melihat sejauh mana kearifan lokal telah diamati di semua perencanaan dan desain yang ada. lingkungan alam, kadang-kadang menyebabkan masalah dalam kehidupan manusia, juga menjaga potensi solusi untuk masalah ini. Hal ini sangat penting untuk memahami berbagai warisan pengetahuan lokal, terutama yang disimpan dalam arsitektur vernakular, dari masyarakat untuk menciptakan kehidupan harmoni 'antara lingkungan manusia dan dibangun. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kembali bentuk-bentuk pengetahuan lokal yang berasal dari arsitektur yang berkembang pada lingkungan lahan basah. Arsitektur vernakular yang dipelajari adalah Banjar tinggal di Kalimantan Selatan. pengetahuan lokal yang diuji dalam penelitian ini ditangkap melalui ekspresi budaya dari lingkungan lahan basah. Hasilnya bisa konsep pembangunan berkelanjutan dan pedoman untuk daerah yang memiliki karakteristik lahan basah.

Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan utama yang mempengaruhi terbentuknya arsitektur vernakular lahan basah. Beberapa permasalahan yang dibahas antara lain, permasalahan kondisi lahan, material, teknologi, transportasi, dlsb. Hasil identifikasi disajikan dalam bentuk tabel / matrik dan dilengkapi dengan foto/video yang relevan.

Obyek pembelajaran permasalahan desain di lingkungan lahan basah bertujuan memberikan pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan alam, khususnya kondisi lahan yang mempengaruhi desain arsitektur vernakular lahan basah.
Untuk meningkatkan pemahaman tentang permasalahan desain, mahasiswa ditugaskan mengidentifikasi permasalahan yang mungkin ditemukan atau terjadi di lingkungan lahan basah masing-masing daerah asal mahasiswa. Identifikasi mencakup: kondisi fisik lahan, aksesibilitas, iklim, material, dll.
Beberapa permasalahan yang dibahas antara lain, permasalahan kondisi lahan, material, teknologi, transportasi, dlsb.
faktor-faktor lingkungan alam, khususnya kondisi lahan yang mempengaruhi desain arsitektur vernakular lahan basah.
Identifikasi mencakup: kondisi fisik lahan, aksesibilitas, iklim, material, dll.
permasalahan kondisi lahan yang mempengaruhi desain arsitektur vernakular lahan basah :
a.       bertanah rawa
b.      material
c.       teknologi
d.      transportasi
e.       aksesibilitas
f.       iklim
Faktor-faktor nonmaterial, antara lain kondisi suhu, cahaya, dan kebisingan
§  Iklim, merupakan faktor yang memengaruhi aktivitas manusia dalam lingkungannya. Iklim yang ekstrim dapat menjadi pembatas bagi aktivitas manusia.
§  Perubahan cuaca, merupakan faktor yang di satu sisi suhu yang ekstrim dapat menjadi pembatas bagi manusia, sedangkan di sisi lain suhu yang beragam dapat membuat manusia menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam mengatasi perubahan-perubahan tersebut.
§   
Kebisingan
Tingkat kebisingan di banjarmasin sudah mulai tinggi, ini karena pengguna kendaraan bermotor mulai bertambah banyak, jalanan pun akhirnya menjadi macet.




KONDISI FISIK LAHAN BASAH KALIMANTAN SELATAN
Sebagian besar kondisi tanah di Kalimantan Selatan adalah lahan basah atau lahan gambut. Artinya, daerah Kalimantan selatan merupakan kawasan rawa terbesar karena tergenang air, baik secara musiman maupun permanen dan banyak ditumbuhi vegetasi sehingga secara umum kondisi lahan basah memiliki tekstur, sifat fisik dan kimia yang khas.
Luas lahan basah di Kalimantan Selatan mencapai 382.272 ha. Lahan basah di Kalimantan Selatan merupakan daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering.
Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis yang luas, mulai tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan secara produktif bagi ekonomi lokal, sumbangannya terhadap keakekaragaman hayati juga sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang bermigrasi biasanya singgah di kawasan lahan basah.

MATERIAL

ULIN : Ulin atau disebut juga dengan bulian atau kayu besi adalah pohon berkayu dan merupakan tanaman khas Kalimantan. Kayu ulin terutama dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, seperti konstruksi rumah, jembatan, tiang listrik, dan perkapalan. Ulin merupakan salah satu jenis kayu hutan tropika basah yang tumbuh secara alami di wilayah Sumatera bagian selatan dan Kalimantan.


KAYU GALAM : Bagi masyarakat rawa, galam mempunyai arti sangat penting sebagai sumber kayu bakar, bahan bangunan rumah, dan juga tiang pancang atau patok untuk bangunan gedung

ATAP SIRAP : Atap sirap berasal dari kayu ulin yang dikenal juga dengan nama kayu besi atau kayu bulian. Kayu ulin berasal dari daerah Kalimantan dan memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, seperti konstruksi rumah, jembatan, tiang listrik, bantalan kereta api, dan perkapalan.

KAYU KAPUR NAGA : Digunakan untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga dipakai untuk perkapalan, peti (koper), mebel dan juga peti mati. Kayu D. lanceolata dan D. beccarii dipakai untuk perahu, balok, tiang dan konstruksi atap pada bangunan perumahan. Di Sabah kayu kapur dipakai untuk kayu lapis, konstruksi berat di tempat yang tidak ada serangan rayap yang hebat, papan lantai, mebel murah, gading-gading dan papan kapal, sirap yang digergaji, karoseri dan peti pengepak untuk barang berat.

IKLIM DI DAERAH KALIMANTAN SELATAN
Kota Banjarmasin beriklim sabana tropis di mana angin muson barat bertiup dari Benua Asia melewati Samudera Hindia menimbulkan musim hujan, sedangkan angin dari Benua Australia adalah angin kering yang berakibat adanya musim kemarau.
Curah hujan yang turun rata-rata per tahunnya kurang lebih 2.400 mm dengan fluktuasi tahunan berkisar antara 1.600-3.500 mm, jumlah hari hujan dalam setahun kurang lebih 150 hari dengan suhu udara yang sedikit bervariasi, sekitar 26 °C.
Kota Banjarmasin termasuk wilayah yang beriklim tropis. Angin Muson dari arah Barat yang bertiup akibat tekanan tinggi di daratan Benua Asia melewati Samudera Hindia menyebabkan terjadinya musim hujan, sedangkan tekanan tinggi di Benua Australia yang bertiup dari arah Timur adalah angin kering pada musim kemarau. Hujan lokal turun pada musim penghujan, yaitu pada bulan-bulan November–April. Dalam musim kemarau sering terjadi masa kering yang panjang. Curah hujan tahunan rata-rata sampai 2.628 mm dari hujan per tahun 156 hari. Suhu udara rata-rata sekitar 25 °C - 38 °C dengan sedikit variasi musiman. Fluktuasi suhu harian berkisar antara 74-91%, sedangkan pada musim kemarau kelembabannya rendah, yaitu sekitar 52% yang terjadi pada bulan-bulan Agustus, September dan Oktober.
Data iklim Banjarmasin
Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Tahun
Rata-rata tertinggi °C (°F)
29
(85)
29
(85)
30
(86)
31
(87)
31
(88)
31
(87)
31
(87)
31
(88)
31
(88)
31
(88)
31
(87)
29
(85)
31
(87)
Rata-rata terendah °C (°F)
25
(77)
25
(77)
24
(76)
26
(78)
26
(78)
25
(77)
24
(75)
24
(75)
24
(75)
25
(77)
25
(77)
24
(76)
24
(76)
Presipitasi mm (inci)
350
(13.78)
300
(11.81)
310
(12.2)
210
(8.27)
200
(7.87)
120
(4.72)
120
(4.72)
110
(4.33)
130
(5.12)
120
(4.72)
230
(9.06)
290
(11.42)
2.570
(101,18)

Kondisi Morfologi Kota Banjarmasin
Kota Banjarmasin terletak sekitar 50km dari muara sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura, sehingga secara umum kondisi morfologi Banjarmasin didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berada di dataran rendah. Daerah ini terletak di bawah permukaan air laut rata-rata 0,16 m (dpl) dengan tingkat kemiringan lereng 0%-2%.
Kondisi ini sangat menunjang bagi pengembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Kota Banjarmasin merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air.

Tapak Permukiman Tepian Sungai
Perkembangan tapak permukiman tepian sungai terdiri dari beberapa tahapan,
yaitu:
1. Berdasarkan historis, permukiman tumbuh di sepanjang tepian sungai dengan orientasi ke sungai. Setiap rumah memiliki dermaga sebagai tempat menambatkan perahu, sebagai wadah “batang” untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi, cuci dan mengambil air
untuk keperluan di rumah. Antara dermaga dan titian terdapat urugan tanah yang dijadikan sebagai tanggul (kemudian berkembang fungsinya menjadi jalan darat). Tanggul ini biasanya diurug dengan cara mengeruk sungai saat musim kemarau (sungai kering) sehingga mengurangi endapan lumpur yang dapat membuat sungai dangkal. Rumah
menggunakan struktur panggung dengan tiang ulin dan pondasi kacapuri atau
pancangan kayu galam.
2. Mulai tumbuh rumah-rumah di bagian belakang dan samping rumah utama (lapis pertama) Hal ini disebabkan karena sistem kekerabatan yang sangat erat, dan ada kecenderungan orang tua sulit berpisah dengan anaknya walaupun anak sudah menikah dan mempunyai keluarga, maka dibuatlah rumah di bagian samping atau di bagian belakang rumah utama untuk anak-anak dan keluarganya. Selain itu tumbuh pula rumah di bantaran
sungai. Akses menuju rumah-rumah yang baru menggunakan titian. Sedangkan
titian yang menghubungkan rumah utama dengan dermaga berubah menjadi halaman yang berasal dari tanah yang dikeruk dari sungai dan dari bawah rumah. Pada tahap ini, kearifan lokal lahan rawa masih diperhatikan, yakni menggunakan rumah struktur panggung, akses titian dan sistem urug dan keruk untuk halaman dengan tanah urugan dari area tersebut juga.

3.Titian menuju rumah-rumah disekitar rumah lapis pertama mulai hilang diganti dengan urugan tanah dan perkerasan paving stone. Rumah di bantaran sungai bertambah banyak menjorok ke sungai, sungai semakin sempit. Titian di bantaran
sungai juga sudah diurug menjadi halaman rumah. Transportasi darat semakin berkembang, sehingga fungsi dermaga dan sungai sebagai media transportasi mulai berkurang. Urugan
tanah (reklamasi rawa) semakin luas,lahan rawa semakin berkurang. Sebenarnya pengurugan lahan ini (reklamasi rawa) bisa saja dilakukan,tetapi harus tetap memperhatikan
kearifan lokal agar tidak merusak alam demi terwujudnya permukiman yang berkelanjutan.

Perkembangan tapak permukiman di tepian sungai


Saluran yang mengalirkan air berupa gorong-gorong atau saluran terbuka dari area panggung rumah menuju keluar tidak ada, sehingga air terkungkung di bawah lantai rumah. Pada bagian bawah bangunan (masih menggunakan struktur panggung) seluruhnya ditutup dengan kayu ulin agar nanti pada saat mengurug halaman,  tanah urug tidak masuk ke bagian bawah bangunan

1. Konstruksi bangunan panggung
 Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan (rawa). Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat. Untuk menahan beratnya beban bangunan dan menyalurkan gaya berat ke bumi, digunakan system pondasi batang (log). Sistem pondasi ini menggunakan batang kayu Kapur Naga yang diletakkan sebagai bantalan. Sifat balok kayu yang mampu “mengapungkan” bangunan menjadikannya sangat fungsional. Sedangkan kekuatan dan keawetan kayu secara alamiah terbentuk dari proses alami pengawetan dengan membenamkan kayu ke lumpur.
 Untuk struktur yang lebih ringan, menggunakan konstruksi kacapuri, yakni dengan kayu galam yang disusun melintang disepanjang bentang bangunan. Prinsipnya sama dengan system pondasi batang kayu kapur naga (gambar 10).  Karena perkembangan teknologi struktur sekarang ini dan sulitnya untuk mendapatkan batang (log) serta kayu galam yang berdiameter lebih dari 15 cm, maka struktur panggung menggunakan pancangan kayu galam


Transportasi pada daerah Lahan Basah :
Didarat : Mobil, Motor,Becak, Bajaj, Taxi, Angkot, Bus, dll


Di air : Jukung, Spit, Kapal, dll


Tidak ada komentar:

Posting Komentar